Selasa, 18 Oktober 2011

Jurnal Penelitian Faktor Yang Mempengaruhi Etika Profsi Akuntan

Pengaruh Profesionalisme, Pengetahuan Mendeteksi Kekeliruan, dan Etika Profesi Terhadap Pertimbangan Tingkat Materialitas Akuntan Publik

PENDAHULUAN

Semakin meluasnya kebutuhan jasa professional akuntan publik sebagai pihak yang dianggap independen, menuntut profesi akuntan publik untuk meningkatkan kinerjanya agar dapat menghasilkan produk audit yang dapat diandalkan bagi pihak yang membutuhkan. Untuk dapat meningkatkan sikap profesionalisme dalam melaksanakan audit atas laporan keuangan, hendaknya para akuntan publik memiliki pengetahuan audit yang memadai serta dilengkapi dengan pemahaman mengenai kode etik profesi. Seorang akuntan publik dalam melaksanakan audit atas laporan keuangan tidak semata–mata bekerja untuk kepentingan kliennya, melainkan juga untuk pihak lain yang berkepentingan terhadap laporan keuangan auditan. Untuk dapat mempertahankan kepercayaan dari klien dan dari para pemakai laporan keuangan lainnya, akuntan publik dituntut untuk memiliki kompetensi yang memadai. FASB dalam Statement of Financia Accounting Concept No.2, menyatakan bahwa relevansi dan reliabilitas adalah dua kualitas utama yang membuat informasi akuntansi berguna untuk pembuatan keputusan. Untuk dapat mencapai kualitas relevan dan reliable maka laporan keuangan perlu diaudit oleh akuntan publik untuk memberikan jaminan kepada pemakai bahwa laporan keuangan tersebut telah disusun sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan, yaitu Standar Akuntansi Keuangan (SAK) yang berlaku di Indonesia. Profesionalisme telah menjadi isu yang kritis untuk profesi akuntan karena dapat menggambarkan kinerja akuntan tersebut. Gambaran terhadap profesionalisme dalam profesi akuntan publik seperti yang dikemukakan oleh Hastuti dkk. (2003) dicerminkan melalui lima dimensi, yaitu pengabdian pada profesi, kewajiban sosial, kemandirian, keyakinan terhadap profesi dan hubungan dengan rekan seprofesi. Selain menjadi seorang profesional yang memiliki sikap profesionalisme, akuntan public juga harus memiliki pengetahuan yang memadai dalam profesinya untuk mendukung pekerjaannya dalam melakukan setiap pemeriksaan. Setiap akuntan publik juga diharapkan memegang teguh etika profesi yang sudah ditetapkan oleh Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI), agar situasi penuh persaingan tidak sehat dapat dihindarkan. Selain itu, dalam perencanaan audit, akuntan publik harus mempertimbangkan masalah penetapan tingkat risiko pengendalian yang direncanakan dan pertimbangan awal tingkat materialitas untuk pencapaian tujuan audit. Penelitian ini merupakan pengembangan penelitian yang dilakukan oleh Hastuti dkk. (2003). Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terletak pada (1) obyek penelitian, yaitu Kantor Akuntan Publik (KAP) yang ada di

Jakarta. Dengan mengambil KAP di Jakarta sebagai obyek penelitian diharapkan dapat merepresentasikan KAP di Indonesia karena sebagian besar KAP big 4 dan KAP non big 4 berada di Jakarta; (2) penambahan variabel independen, yaitu pengetahuan akuntan public dalam mendeteksi kekeliruan yang diambil dari penelitian Sularso dan Na’im (1999), dan etika profesi yang diambil dari penelitian Murtanto dan Marini (1999). Akuntan yang lebih berpengalaman akan bertambah pengetahuannya dalam melakukan proses audit khususnya dalam memberikan pertimbangan tingkat materialitas dalam proses audit laporan keuangan. Selain pengetahuan, akuntan juga dituntut etika dalam profesinya sehingga pertimbangan tingkat materialitas dalam proses audit laporan keuangan diberikan sewajarnya sesuai dengan kondisi sebenarnya. Berdasarkan uraian di atas, penulis ingin membuktikan secara empiris pengaruh profesionalisme, pengetahuan akuntan publik dalam mendeteksi kekeliruan dan etika profesi terhadap pertimbangan tingkat materialitas dalam proses audit laporan keuangan.

AUDIT LAPORAN KEUANGAN

Menurut Agoes (2004) ada dua alasan perlunya suatu laporan keuangan diaudit oleh Kantor Akuntan Publik (KAP), yaitu 1) jika tidak diaudit ada kemungkinan bahwa laporan keuangan tersebut mengandung kesalahan baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja sehingga diragukan kewajarannya oleh pihak– pihak yang berkepentingan terhadap laporan keuangan dan 2) jika laporan keuangan sudah diaudit dan mendapat opini wajar tanpa pengecualian (Unqualified Opinion) dari KAP, berarti laporan keuangan tersebut dapat diasumsikan bebas dari salah saji material dan telah disajikan sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) yang berlaku umum di Indonesia. Laporan keuangan yang mengandung salah saji material dampaknya, secara individual atau keseluruhan cukup signifikan sehingga dapat mengakibatkan laporan keuangan disajikan secara tidak wajar dalam semua hal yang material. Di sinilah peran akuntan publik dalam menentukan tingkat materialitas dalam proses audit laporan keuangan.

PERTIMBANGAN TINGKAT MATERIALITAS

Arens (2005:234) menyatakan konsep materialitas menggunakan tiga tingkatan dalam mempertimbangkan jenis laporan yang harus dibuat, antara lain: 1) Jumlah yang tidak material, jika terdapat salah saji laporan keuangan tetapi cenderung tidak mempengaruhi keputusan pemakai laporan, salah saji tersebut dianggap tidak material, 2) Jumlahnya material, tetapi tidak menganggu laporan keuangan secara keseluruhan. Tingkat materialitas ini terjadi jika salah saji di dalam laporan keuangan dapat mempengaruhi keputusan pemakai, tetapi keseluruhan laporan keuangan tersebut tersaji dengan benar sehingga tetap berguna, 3) Jumlahnya sangat material atau pengaruhnya sangat meluas sehingga kewajaran laporan keuangan secara keseluruhan diragukan. Tingkat tertinggi terjadi jika para pemakai dapat membuat keputusan yang salah jika mereka mengandalkan laporan keuangan secara keseluruan Dengan demikian tujuan penetapan materialitas sangat penting untuk membantu auditor dalam merencanakan pengumpulan bahan bukti kompeten yang cukup. Langkah–langkah dalam menetapkan materialitas (Arens 2005:233) (1) tentukan pertimbangan awal mengenai materialitas; (2) Alokasi pertimbangan awal mengenai

materialitas ke dalam segmen; (3) Estimasi total kekeliruan dalam segmen; (4) Estimasikan kekeliruan gabungan; (5) Bandingkan estimasi gabungan dengan pertimbangan awal mengenai materialitas. Laporan keuangan mengandung salah saji yang dampaknya, secara individual atau keseluruhan cukup signifikan sehingga dapat mengakibatkan laporan keuangan disajikan secara tidak wajar dalam semua hal yang material. Salah saji dapat terjadi akibat dari kekeliruan ataupun kecurangan (Ikatan Akuntan Indonesia 2001). Konsep materialitas menyatakan bahwa tidak semua informasi keuangan diperlukan atau tidak semua informasi keuangan seharusnya dikomunikasikan dalam laporan akuntansi, hanya informasi yang material yang seharusnya disajikan. Informasi yang tidak material seharusnya diabaikan atau dihilangkan. Pertimbangan auditor mengenai materialitas merupakan pertimbangan profesional dan dipengaruhi oleh persepsi auditor atas kebutuhan orang yang memiliki pengetahuan memadai dan yang akan meletakkan kepercayaan terhadap laporan keuangan (Ikatan Akuntan Indonesia 2001).

PROFESIONALISME

Dalam pengertian umum, seseorang dikatakan profesional jika memenuhi tiga kriteria, yaitu mempunyai keahlian untuk melaksanakan tugas sesuai dengan bidangnya, melaksanakan suatu tugas atau profesi dengan menetapkan standar baku di bidang profesi yang bersangkutan dan menjalankan tugas profesinya dengan mematuhi etika profesi yang telah ditetapkan. Profesi dan profesionalisme dapat dibedakan secara konseptual seperti dikemukakan oleh Lekatompessy (2003). Profesi merupakan jenis pekerjaan yang memenuhi beberapa kriteria, sedangkan profesionalisme merupakan suatu atribut individual yang penting tanpa melihat apakah suatu pekerjaan merupakan suatu profesi atau tidak. Seorang akuntan publik yang profesional harus memenuhi tanggung jawabnya terhadap masyarakat, klien termasuk rekan seprofesi untuk berperilaku semestinya. Kepercayaan masyarakat terhadap kualitas jasa audit profesional meningkat jika profesi menetapkan standar kerja dan perilaku yang dapat mengimplementasikan praktik bisnis yang efektif dan tetap mengupayakan profesionalisme yang tinggi. Konsep profesionalisme modern dalam melakukan suatu pekerjaan seperti dikemukakan oleh Lekatompessy (2003), berkaitan dengan dua aspek penting, yaitu aspek struktural dan aspek sikap. Aspek struktural karakteristiknya merupakan bagian dari pembentukan tempat pelatihan, pembentukan asosiasi profesional dan pembentukan kode etik. Sedangkan aspek sikap berkaitan dengan pembentukan jiwa profesionalisme. Hastuti dkk. (2003) menyatakan bahwa profesionalisme menjadi syarat utama bagi orang yang bekerja sebagai akuntan publik. Gambaran seseorang yang profesional dalam profesi dicerminkan dalam lima dimensi profesionalisme, yaitu pertama, pengabdian pada profesi dicerminkan dari dedikasi dengan menggunakan pengetahuan dan kecakapan yang dimiliki serta keteguhan untuk tetap melaksanakan pekerjaan meskipun imbalan ekstrinsik kurang. Sikap ini adalah ekspresi dari pencurahan diri yang total terhadap pekerjaan. Kedua, kewajiban social adalah suatu pandangan tentang pentingnya peranan profesi serta manfaat yang diperoleh baik masyarakat maupun kalangan profesional lainnya karena adanya pekerjaan tersebut. Ketiga, kemandirian dimaksudkan sebagai suatu pandangan bahwa seorang yang professional harus mampu membuat keputusan sendiri tanpa tekanan dari pihak lain (pemerintah, klien dan mereka yang bukan anggota profesi). Setiap ada campur tangan dari luar dianggap sebagai hambatan kemandirian secara profesional. Keempat, keyakinan terhadap profesi adalah suatu keyakinan bahwa yang paling berwenang menilai apakah suatu pekerjaan yang dilakukan profesional atau tidak adalah rekan sesame profesi, bukan pihak luar yang tidak mempunyai kompetensi dalam bidang ilmu dan pekerjaan tersebut. Kelima, hubungan dengan sesame profesi adalah dengan menggunakan ikatan profesi sebagai acuan, termasuk di dalamnya organisasi formal dan kelompok kolega informal sebagai ide utama dalam melaksanakan pekerjaan. Hastuti dkk. (2003) meneliti tentang hubungan profesionalisme dengan pertimbangan tingkat materialitas dalam proses pengauditan laporan keuangan dengan menggunakan lima dimensi mengenai profesionalisme yang sebelumnya telah dikembangkan oleh Hall (1968). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat profesionalisme mempunyai hubungan yang signifikan dengan tingkat pertimbangan materialitas

Semakin tinggi tingkat profesionalisme akuntan publik, semakin baik pula pertimbangan tingkat

materialitasnya. Berdasarkan uraian tersebut, maka hipotesis yang diajukan sebagai berikut: H1: Profesionalisme berpengaruh secara positif terhadap pertimbangan tingkat materialitas dalam proses audit laporan keuangan.

PENGETAHUAN AKUNTAN PUBLIK DALAM MENDETEKSI KEKELIRUAN

Pengetahuan akuntan publik bisa diperoleh dari berbagai pelatihan formal maupun dari pengalaman khusus, berupa kegiatan seminar, lokakarya serta pengarahan dari auditor senior kepada auditor yuniornya. Pengetahuan juga bisa diperoleh dari frekuensi seorang akuntan public melakukan pekerjaan dalam proses audit laporan keuangan. Seseorang yang melakukan pekerjaan sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya akan memberikan hasil yang lebih baik daripada mereka yang tidak memiliki pengetahuan yang cukup memadai akan tugasnya. Pengetahuan akuntan publik digunakan sebagai salah satu kunci keefektifan kerja. Dalam audit, pengetahuan tentang bermacam-macam pola yang berhubungan dengan kemungkinan kekeliruan dalam laporan keuangan penting untuk membuat perencanaan audit yang efektif (Noviyani dan Bandi 2002). Seorang akuntan publik yang memiliki banyak pengetahuan tentang kekeliruan akan lebih ahli dalam melaksanakan tugasnya terutama yang berhubungan dengan pengungkapan kekeliruan. Pengertian mengenai kekeliruan menurut Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dalam Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) paragraf 6, dinyatakan bahwa kekeliruan (error) berarti salah saji (misstatement) atau hilangnya jumlah atau pengungkapan dalam laporan keuangan yang tidak disengaja. Kekeliruan dapat berupa (1) kekeliruan dalam pengumpulan atau pengolahan data yang menjadi sumber penyusunan laporan keuangan; (2) Estimasi akuntansi yang tidak masuk akal yang timbul dari kecerobohan atau salah tafsir fakta; (3) Kekeliruan dalam penerapan prinsip akuntansi yang berkaitan dengan jumlah, klasifikasi dan cara penyajian atau pengungkapan. Menurut pendapat Erick (2005) kegagalan dalam mendeteksi kekeliruan yang material akan mempengaruhi kesimpulan dari pengguna laporan keuangan. Faktor utama yang membedakan antara kesalahan dengan kecurangan adalah tindakan yang mendasarinya yang berakibat terjadinya salah saji (misstatement) dalam laporan keuangan. Untuk membedakan salah saji tersebut disengaja atau tidak disengaja, dalam praktiknya sangat sulit untuk dibuktikan, terutama yang berkaitan dengan estimasi akuntansi dan penerapan prinsip akuntansi. Menurut Noviyani dan Bandi (2002) pengalaman yang lebih akan menghasilkan pengetahuan yang lebih dalam pertimbangan tingkat materialitas. Pengalaman membentuk seorang akuntan publik menjadi terbiasa dengan situasi dan keadaan dalam setiap penugasan. Pengalaman juga membantu akuntan public dalam mengambil keputusan terhadap pertimbangan tingkat materialitas dan menunjang setiap langkah yang diambil dalam setiap penugasan. Pengetahuan akuntan publik tentang pendeteksian kekeliruan semakin berkembang karena pengalaman kerja. Semakin tinggi pengetahuan akuntan publik dalam mendeteksi kekeliruan maka semakin baik pula pertimbangan tingkat materialitas. Berdasarkan uraian tersebut, maka hipotesis yang diajukan sebagai berikut: H2: Pengetahuan akuntan publik dalam mendeteksi kekeliruan berpengaruh secara positif terhadap pertimbangan tingkat materialitas dalam proses audit laporan keuangan.

ETIKA PROFESI

Setiap profesi yang memberikan pelayanan jasa pada masyarakat harus memiliki kode etik, yang merupakan seperangkat prinsip–prinsip moral yang mengatur tentang perilaku professional (Agoes 2004). Tanpa etika, profesi akuntan tidak akan ada karena fungsi akuntan adalah sebagai penyedia informasi untuk proses pembuatan keputusan bisnis oleh para pelaku bisnis. Etika profesi merupakan karakteristik suatu profesi yang membedakan suatu profesi dengan profesi lain, yang berfungsi untuk mengatur tingkah laku para anggotanya (Murtanto dan Marini 2003). Dalam hal etika, sebuah profesi harus memiliki komitmen moral yang tinggi yang dituangkan dalam bentuk aturan khusus. Aturan ini merupakan aturan main dalam menjalankan atau mengemban profesi tersebut, yang biasa disebut sebagai kode etik. Kode etik harus dipenuhi dan ditaati oleh setiap profesi yang memberikan jasa pelayanan kepada masyarakat dan merupakan alat kepercayaan bagi masyarakat luas. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa setiap profesional wajib mentaati etika profesinya terkait dengan pelayanan yang diberikan apabila menyangkut kepentingan masyarakat luas. Agoes (2004) menunjukkan kode etik IAPI dan aturan etika Kompartemen Akuntan Publik, Standar Profesi Akuntan Publik (SPAP) dan standar pengendalian mutu auditing merupakan acuan yang baik untuk mutu auditing. Prinsip

prinsip etika yang dirumuskan IAPI dan dianggap menjadi kode etik perilaku akuntan Indonesia

adalah (1) tanggung jawab, (2) kepentingan masyarakat, (3) integritas, (4) obyektifitas dan independen, (5) kompetensi dan ketentuan profesi, (6) kerahasiaan, dan (7) perilaku profesional. Semakin tinggi akuntan publik menaati kode etik maka semakin baik pula pertimbangan tingkat materialitas. Berdasarkan uraian tersebut, maka hipotesis yang diajukan sebagai berikut: H3: Etika profesi berpengaruh secara positif terhadap pertimbangan tingkat materialitas dalam proses audit laporan keuangan.

Model penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.




Gambar 1 Profesionalisme, pengetahuan akuntan publik dalam mendeteksi kekeliruan dan etika profesi terhadap pertimbangan tingkat materialitas

METODA PENELITIAN

Obyek penelitian yang diambil adalah Kantor Akuntan Publik (KAP) yang terdaftar pada Direktori Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) 2008 di wilayah Jakarta dengan akuntan public yang bekerja di KAP dijadikan sebagai responden. Para akuntan publik tersebut harus memiliki pengalaman bekerja minimal dua tahun, memiliki jenjang pendidikan minimal S1 dan posisi minimal sebagai akuntan publik senior, untuk tujuan memperoleh responden yang memiliki pengalaman dalam menentukan tingkat materialitas. Metoda sampling yang digunakan adalah convenience sampling, yaitu pemilihan sampel berdasarkan kemudahan, sehingga penulis mempunyai kebebasan untuk memilih sampel yang paling cepat dan mudah. Data dikumpulkan melalui survai kuisioner yang dikirmkan kepada responden baik secara langsung atau melalui contact person. Jumlah kuisioner yang dikirimkan kepada responden sebanyak dua ratus, kuisioner yang direspon sebanyak seratus lima puluh.

Profesionalisme

Profesionalisme merupakan sikap seseorang dalam menjalankan suatu profesi. Variabel profesionalisme terdiri dari dua puluh empat item instrument, seperti yang pernah digunakan oleh Hastuti dkk. (2003), yang diukur dengan menggunakan tujuh poin skala likert untuk mengukur tingkat profesionalisme akuntan publik.

Pengetahuan akuntan publik dalam mendeteksi kekeliruan

Sularso dan Na’im (1999) menyatakan akuntan yang memiliki pengetahuan dan keahlian secara profesional dapat meningkatkan pengetahuan tentang sebab dan konsekuensi kekeliruan dalam suatu siklus akuntansi. Variabel pengetahuan akuntan publik ini diukur dengan menggunakan sembilan belas item instrument untuk mendeteksi macam–macam kekeliruan yang terjadi dalam siklus penjualan, piutang dan penerimaan kas. Pengukuran variabel ini dilakukan dengan angka 1 dan 0, poin 1 diberikan jika jawaban responden sesuai dengan harapan penulis dan poin 0 diberikan jika jawaban responden tidak sesuai dengan harapan penulis. Instrumen untuk mengukur variabel ini pernah digunakan oleh Sularso dan Na’im (1999) dan Fahmi (2002).

Etika Profesi

Etika profesi yang dimaksud pada penelitian ini adalah Kode Etik Akuntan Indonesia, yaitu norma perilaku yang mengatur hubungan antara akuntan publik dengan kliennya, antara akuntan publik dengan rekan sejawatnya dan antara profesi dengan masyarakat. Etika profesi terdiri dari lima dimensi yaitu kepribadian, kecakapan profesional, tangung jawab, pelaksanaan kode etik, penafsiran dan penyempurnaan kode etik. Terdapat delapan belas item instrumen yang digunakan untuk mengukur etika profesi dengan tujuh poin skala likert, seperti yang pernah digunakan oleh Murtanto dan Marini (2003).

Materialitas

Materialitas adalah besarnya penghilangan atau salah saji informasi akuntansi yang dilihat dari keadaan yang melingkupinya, yang dapat mempengaruhi pertimbangan pihak yang meletakkan kepercayaan terhadap informasi tersebut (Mulyadi 2002:158). Item instrumen yang digunakan sebanyak delapan belas pernyataan dengan tujuh poin skala likert, seperti yang pernah digunakan oleh Hastuti dkk. (2003). Alat analisis yang digunakan untuk menguji hipotesis adalah multiple regression analysis dengan model persamaan sebagai berikut:

Mat= β0+β1Prof+β2PAK+β3EP+β4LM+ β5Po+β6Pd+ β7G+ β8Um+ε (1)

Keterangan: 1) Mat: Materialitas; 2) Prof: Profesionalisme; 3) PAK: Pengetahuan akuntan publik

dalam mendeteksi kekeliruan; 4) EP: Etika profesi; LM: 5) Lama Kerja; 6) Po: Posisi; 7) Pd: Pendidikan; 8) G: Gender; Um: Umur; ε= error term. Dalam pengujian hipotesis, penelitian memasukan variabel karakteristik responden seperti lama bekerja di KAP, jabatan pekerjaan, tingkat pendidikan, gender dan umur yang merupakan variabel kontrol. Tujuan memasukan variabel kontrol adalah mengendalikan hasil penelitian agar tidak dipengaruhi oleh perbedaan karakteristik responden.

Tabel 1. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas

Variabel Item Koefisien Pearson

Cronbach Correlation*

Alpha

Profesionalisme 22 0,903 0,283-0,709

Pengetahuan akuntan

Public 17 0,819 0,419-0,626

Etika profesi 17 0,734 0,400-0,732

Pertimbangan tingkat

materialtias 16 0,655 0,182-0,608

*signifikan <0,05

Statistik deskriptif dapat dilihat dalam Tabel 2 dan hasil pengujian hipotesis dapat dilihat dalam Tabel 3.

Tabel 2 Statistika Deskriptif




Variabel Mean Standard Actual Theoretical

Deviation Range Range




Profesionalisme 5,420 0,755 3,05-7 1-7

Pengetahuan akuntan

publik 0,865 0,179 0,24-1 0-1

Etika profesi 6,004 0,767 3,29-7 1-7

Pertimbangan tingkat

Materialitas 5,327 0,569 3,44-6,81 1-7

Tabel 3. Profesionalisme, pengetahuan akuntan publik dalam mendeteksi kekeliruan dan etika profesi terhadap pertimbangan tingkat materialitas


Variabel B T p-value Tolerance VIF

Konstanta 2,34 4,872 0,000

Profesionalisme 0,231 2,904 0,004 0,456 2,194

Pengetahuan 0,613 2,624 0,010 0,943 1,060

akuntan publik

Etika profesi 0,233 3,205 0,002 0,528 1,896

Lama kerja -0,016 -0,249 0,803 0,312 3,206

Posisi -0,061 -0,971 0,333 0,325 3,074

Pendidikan -0,088 -0,715 0,476 0,671 1,491

Gender 0,022 0,248 0,804 0,823 1,215

Umur 0,067 0,761 0, 448 0,457 2,188

Adjusted R2: 0,270; F8,136: 7,647 p-value: 0,000; Kolmogorov-Smirnov Z residual: 0,761 p-value: 0,608

Hasil statistik deskriptif menunjukan bahwa rata-rata responden memberikan nilai pada variabel profesionalisme sebesar 5,420, pengetahuan akuntan publik sebesar 0,865, etika profesi sebesar 6,004, pertimbangan tingkat materialitas sebesar 5,327. Sedangkan untuk deviasi standar profesionalisme sebesar 0,755, pengetahuan akuntan publik sebesar 0,179, etika profesi sebesar 0,767, pertimbangan tingkat materialitas sebesar 0,569. Nilai minimum dan nilai maksimum yang diberikan responden untuk variabel profesionalisme sebesar 3,05 sampai dengan 7, pengetahuan akuntan publik sebesar 0,24 sampai dengan 1, etika profesi sebesar 3,29 sampai dengan 7, pertimbangan tingkat materialitas sebesar 3,44 sampai dengan 6,81. Sebelum dilakukan pengujian hipotesis terlebih dahulu dilakukan uji asumsi klasik untuk menguji pemenuhan syarat regresi. Hasil uji asumsi klasik menunjukan bahwa semua asumsi terpenuhi yang dapat dilihat pada Tabel 3. Selain uji asumsi klasik, model regresi yang diajukan memenuhi kelayakan model terlihat dari nilai F8,136 sebesar 7,647 dengan p-value 0,000, artinya model regresi merupakan model yang baik guna dipakai dalam penyederhanaan dunia nyata. Hasil pengujian hipotesis satu terlihat pada koefisien profesionalisme yang bernilai positif (0,231) dan signifikan pada p-value di bawah 0,05 (p=0,004) yang terlihat pada Tabel 3 sehingga hipotesis satu terbukti. Hasil pengujian hipotesis satu menunjukkan bahwa tingkat profesionalisme berpengaruh secara positif terhadap pertimbangan tingkat materialitas. Terbuktinya hipotesis satu konsisten dengan hasil penelitian Hastuti dkk. (2003) yang memberikan bukti empiris bahwa semakin tinggi profesionalisme akuntan public semakin baik pula pertimbangan tingkat materialitasnya. Hasil pengujian hipotesis dua terlihat pada koefisien pengetahuan akuntan publik dalam mendeteksi kekeliruan yang bernilai positif (0,613) dan signifikan pada p-value di bawah 0,05 (p=0,01) yang terlihat pada Tabel 3 sehingga hipotesis dua terbukti. Hasil pengujian hipotesis dua menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan akuntan public dalam mendeteksi kekeliruan berpengaruh secara positif terhadap pertimbangan tingkat materialitas. Terbuktinya hipotesis dua konsisten dengan hasil penelitian Noviyani dan Bandi (2002) yang memberikan bukti empiris bahwa semakin tinggi pengetahuan akuntan publik dalam mendeteksi kekeliruan semakin baik pula pertimbangan tingkat materialitasnya. Hasil pengujian hipotesis tiga terlihat pada koefisien etika profesi yang bernilai positif (0,233) dan signifikan pada p-value di bawah 0,05 (p=0,002) yang terlihat pada Tabel 3 sehingga hipotesis tiga terbukti. Hasil pengujian hipotesis tiga menunjukkan bahwa etika profesi berpengaruh secara positif terhadap pertimbangan tingkat materialitas. Terbuktinya hipotesis tiga konsisten dengan hasil penelitian Agoes (2004) yang memberikan bukti empiris bahwa semakin tinggi akuntan publik metaati kode etik semakin baik pula pertimbangan tingkat materialitasnya. Berdasarkan Tabel 3, hasil penelitian ini tidak terpengaruh oleh karakteristik dari responden, yaitu lama kerja dan posisi dalam Kantor Akuntan Publik, tingkat pendidikan, gender dan umur. Terbuktinya hipotesis satu, dua dan tiga tidak terpengaruh oleh karakterisitik-karakteristik tersebut.

KESIMPULAN

Hasil penelitian ini mendukung semua hipotesis dan konsisten dengan penelitian Hastuti dkk. (2003). Hasil temuan ini mengindikasikan bahwa profesionalisme, pengetahuan auditor dalam mendeteksi kekeliruan dan etika profesi berpengaruh secara positif terhadap pertimbangan tingkat materialitas dalam proses audit laporan keuangan. Semakin tinggi tingkat profesionalisme akuntan publik, pengetahuannya dalam mendeteksi kekeliruan dan ketaatannya akan kode etik semakin baik pula pertimbangan tingkat materialitasnya dalam melaksanakan audit laporan keuangan. Hasil penelitian dapat memberikan kontribusi

bagi Kantor Akuntan Publik dalam meningkatkan kinerja KAP secara keseluruhan dengan profesionalisme akuntan publik, memberikan pengetahuan yang memadai bagi akuntan publik dalam mendeteksi kekeliruan dan meningkatkan rasa kepatuhan terhadap etika profesi dalam setiap pelaksanaan proses audit atas laporan keuangan sehingga dapat dihasilkan laporan keuangan auditan yang berkualitas. Bagi akuntan publik, menjadi sumber tambahan informasi bagi pertimbangan tingkat materialitas dalam melaksanakan audit atas laporan keuangan klien, sehingga dapat meningkatkan prestasi dan kualitas audit serta dapat menambah pengetahuan serta pengalaman akuntan publik tersebut dan meningkatkan rasa kepatuhan terhadap etika profesi sebagai seorang akuntan publik. Penelitian ini mempunyai beberapa keterbatasan yang perlu diperhatikan untuk penelitian berikutnya, yaitu penggunaan kuisioner dalam pengumpulan data mengenai pengaruh profesionalisme, pengetahuan auditor dalam mendeteksi kekeliruan dan

etika profesi terhadap pertimbangan tingkat materialitas dalam proses audit laporan keuangan mungkin akan berbeda apabila data diperoleh melalui penyampaian tatap muka langsung terhadap responden. Kedua, penelitian ini hanya menguji pengaruh profesionalisme, pengetahuan akuntan public dalam mendeteksi kekeliruan dan etika profesi terhadap pertimbangan tingkat materialitas dalam proses audit laporan keuangan. Terakhir, pemilihan sampel dengan menggunakan teknik convinience sampling karena kemudahan dalam mendapatkan sampel sehingga kurang merepresentasikan populasi. Selain itu, pemilihan sampel yang hanya berlokasi di Jakarta mudah dijangkau kemungkinan akan memberikan kesimpulan yang tidak dapat digeneralisasi untuk lokasi lainnya. Rekomendasi untuk penelitian selanjutnya adalah (1) menyebarkan kuisioner dengan metoda wawancara atau terlibat tatap muka langsung dengan responden; (2) variabel penelitian dapat dikembangkan dengan menambah variabel lain mengenai kualitas audit, pengalaman akuntan publik dalam mendeteksi kekeliruan untuk menunjukkan apakah terdapat pengaruh terhadap pertimbangan tingkat materialitas dan risiko audit atau bisa melakukan uji beda dengan menggunakan sampel KAP Big Four dan Non Big Four; dan (3) menambah jumlah sampel dan memperluas lokasi pengambilan sampel tidak hanya di Jakarta saja.

1 komentar: